Rabu, 19 Oktober 2011

TINJAUAN PUSTAKA


G.TINJAUAN PUSTAKA

1.       Bambu
Bambu banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan secara luas karena memiliki batang yang kuat, lentur, lurus dan ringan sehingga mudah diolah untuk berbagai produk (Permadi, 1992 dalam Purnobasuki, 1995). Dalam kehidupan modern, bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga daun dan dapat digunakan untuk produk-produk dekoratif, alat rumah tangga, bahan bangunan, bahan alat kesenian, dan lain-lain (Widjaja, 2001). Bambu juga digunakan dalam upaya konservasi tanah dan air, karena memiliki sistem perakaran yang banyak sehingga menghasilkan rumpun yang rapat dan mampu mencegah erosi tanah (Dahlan, 1994 dalam Widjaja, dkk, 1994).
Menurut Widjaja (2001), di dunia terdapat sekitar 1200-1300 jenis bambu sedangkan menurut data lapangan dan laboratorium bahwa bambu di Indonesia diketahui terdiri atas 143 jenis. Di Pulau Jawa diperkirakan hanya ada 60 jenis, 14 jenis diantaranya hanya tumbuh di Kebun Raya Bogor dan Cibodas sedangkan 9 jenis merupakan endemik pulau Jawa (Widjaja, 2001).
Hampir semua bagian bambu dapat dimanfaatkan. Namun, walaupun manfaat dan peranan bambu cukup banyak, penghargaan masyarakat terhadap sumberdaya ini masih kurang, bahkan berbagai aspek pengetahuan tentang bambu banyak yang belum tergali secara optimal dan sampai saat ini pendapat tentang taksonomi bambupun masih berbeda-beda (Rifai, 1994 dalam Widjaja, dkk, 1994).

2.       Daun Bambu
Ukuran daun bambu umumnya 4,4-8x5-40cm. Warna daun bambu umumnya hijau. Kuping pelepah daun umumnya kecil berukuran 0,1-0,2 cm dengan bentuk Menggaris. Karakter warna daun telah dipakai oleh Widjaja (2001) untuk mengelompokkan bambu ke dalam tingkatan takson jenis, sedangkan karakter permukaan atas daun, dan bentuk kuping pelepah daun belum digunakan sebagai karakter pembeda, padahal kedua karakter inipun dapat digunakan dalam membedakan bambu ke dalam jenis yang berbeda. Hal ini dapat terlihat dari lima jenis bambu marga Gigantochloa, hanya G.kuring yang permukaan atas daunnya berbuluh halus dan bentuk kuping pelepah daunnya membulat, jenis Gigantochloa lainnya memiliki permukaan atas daun yang gundul dan bentuk kuping pelepah daun kecil dan menggaris. Panjang ligula pelepah daun umumnya 0,05-1 cm.


3.       Manfaat Daun Bambu
            Berbagai kitab herbal, kitab obat klasik, dan farmakop Cina mencatat khasiat bambu dalam menyembuhkan penyakit. Di antaranya:
  • Bie Lu. Daun bambu bersifat dingin, tidak beracun, untuk mengobati rasa panas di dada dan batuk.
  • Sheng Hui Fang. Bubur daun bambu bisa menyembuhkan jantung panas pada anak kecil atau tidak sadarkan diri. Ramuannya: daun bambu 60 g, beras secukupnya, dan 15 g yin chen (wormwood/Artemisiae scopariae) dibuat bubur.
  • Kitab Terapi Herbal. Daun bambu mampu menyembuhkan batuk, haus, dahak, radang tenggorokan, dan menghilangkan rasa panas.
  • Ben Cao Qiu Zhen. Daun bambu bisa menyegarkan hati, menghangatkan limpa, menghilangkan riak dan dahaga, angin jahat, batuk, sesak, muntah darah, stroke ringan, dan lain lain.
  • Yao Pin Hua Yi. Kitab yang dikenal sebagai Kitab Definisi Obat ini mencatat, daun bambu menyegarkan, agak pahit, mampu menetralkan semua chi dingin dan panas.
  • Jing Yue (Kitab Herbal Klasik). Daun bambu, dengan aromanya yang ringan, bisa menetralkan rasa panas, terutama chi di jantung. Merupakan obat yang baik, terutama untuk mengobati dahaga karena hari panas, membersihkan sputum/riak di dada, meredakan rasa dingin dan lemah, batuk, dan asma. Hanya daun bambu yang bisa memasuki kandung empedu dan membawa chi netral ke dalam paru-paru untuk mengeluarkan panas.
  • Ben Jing Feng Yuan. Dalam Kitab Herbal Klasik Shennong ini tertulis daun bambu menyembuhkan salah urat, luka, dan membunuh parasit.
  • Kamus Besar Obat Cina. Daun bambu meredakan rasa cemas dan panas, serta melancarkan buang air kecil.
4.      Penelitian Ilmiah
·         Uji efek hipoglikemik fraksi ekstrak etanol daun dan rebung bambu kuning (Bambusa vulgarly Schard) pada mencit putih jantan oleh Yozy Yaznil dari Universitas Andalas. Hasil percobaan menunjukkan bahwa fraksi polar ekstrak daun dan rebung bambu kuning mempunyai efek hipoglikemik. Efek hipoglikemik yang diberikan oleh fraksi polar ekstrak rebung dosis 300 mg/kg bb. tidak berbeda nyata dibandingkan dengan klorpropamid dosis 32,5 mg/kg bb

·         Telah diteliti kandungan kimia rebung bambu (Bambusa vulgaris Schrad, ex. Wendl., Poaceae). Penapisan fitokimia menunjukkan adanya flavonoid dan steroid/triterpenoid pada rebunga kering. Dari ekstrak etanol-air rebung segar telah ditemukan flavonoid, asam fenolat dan senyawa fenolik lain. Flavonoid tersebut diidentiJfikasi sebagai 4, 3', 4'-trihidroksi auron 6-glukosida. Asam fenolat terdiri dari asam fenolat bebas yakni asam p-hidroksi benzoat dan asam vanilat; bentuk glikosida yakni asam phidroksi benzoat, asam vanilat dan asam siringat; bentuk ester yakni asam p-hidroksi benzoat dan asam vanilat. Senyawa fenolik lainnya diduga sebagai p-hidroksibenzaldehida. Dari ekstrak n-heksana rebung kering diisolasi steroid/triterpenoid yang diduga sebagai stigmasterol.( departemen kesehatan RI)

·         dr Wiiliam Adi Teja, ahli pengobatantimur alumnus Beijing University of Traditional Chinese Medicine, China. Yu Zhang periset Departemen Ilmu Gizi dan Nutrisi, Universitas Zhejiang, China, menemukan 4 senyawa aktif flavonoid glikosida terutama jenis karboglikosida. Jenisnya berupa poligonum oriental glukosida, iso-poligonum oriental glukosida, viteksin, dan iso-viteksin.
·         Shanghai First People Hospital, China. Riset itu melibatkan 78 pasien berusia 35—80 tahun yang memiliki metabolisme lemak rendah.Dampaknya tubuh sulit mencerna lemak sehingga memicu beragam penyakit. Nilai serum kolesterol darah mereka melebihi 5,98 mmol/ liter (kadar normal 5,2 mmol/l), trigliserida lebih dari 2,2 mol/l (kadar normal: 0,1—1,7 mmol/l), dan high density lipoprotein HDL alias kolesterol baik 1,04 mmol/liter (kadar normal: 1,3 mmol/l untuk perempuan dan 1 mmol/liter bagi laki-laki). Hasilnya setelah 3 bulan, kadar trigliserida pasien yang mengkonsumsi daun bambu menurun 33,3% dari rata-rata 3,3 mmol/liter menjadi 2,2 mmol/liter.

5.      Senyawa Kimia Daun Bambu
Penelitian menunjukkan daun bambu mengandung banyak zat aktif, yakni flavonoid, polisakarida, klorofil, asam amino, vitamin, mikroelemen, dan sebagainya, sehingga baik untuk menurunkan lemak darah dan kolesterol. Juga dipercaya bisa menurunkan oksidasi atau radikal bebas, sebagai bahan antipenuaan,serta mampu menjaga stamina dan mencegah penyakit kardiovaskular ( Purwo,2010).
Daun bambu juga mengandung asam fenolat, antrasikuinin, amilosa, lakton kumarin, mangan, dan besi. Jenis asam fenolat dalam daun bambu antara lain asam sinamat, asam klorogenat, asam kafeat, dan asam ferulat. Senyawa-senyawa itu bersatu memerangi kolesterol. Yu Zhang periset Departemen Ilmu Gizi dan Nutrisi, Universitas Zhejiang, China, menemukan 4 senyawa aktif flavonoid glikosida terutama jenis karboglikosida. Jenisnya berupa poligonum oriental glukosida, iso-poligonum oriental glukosida, viteksin, dan iso-viteksin.( Zhang,2010)

6.      Penyakit Hepar
Hati mempunyai fungsi yang komplek, hampir setiap fungsi metabolisme tubuh dikerjakan oleh hati,tetapi hati merupakan organ yang paling sering terkena jejas. Sehingga sering menyebabkan kerusakan hati yang berakhir menjadi kegagalan hati. Kerusakan hati dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik karena virus ataupun senyawa toksik yang terdapat didalam obat.( Husadha dkk.,1996)
Kerusakan membran sel menyebabkan enzim Glutamat Oksaloasetat Transaminase (GOT) keluar dari sitoplasma sel yang rusak, dan jumlahnya meningkat di dalam darah. Sehingga dapat dijadikan indikator kerusakan hati(Berkow dkk.,1999). Peningkatan kadar GOT dalam darah bisa mencapai lebih dari 10 kali nilai normal yang tertinggi. Hal itu kemungkinan besar terjadi karena nekrosis hepatoselluler(Soemohardjo,1983). GOT banyak terdapat pada mitokondria dan sitoplasma sel hati, otot jantung, otot lurik dan ginjal(Berkow dkk.,1999). Pemeriksaan kadar GOT dalam darah lebih digunakan untuk monitoring penderita yang mendapat terapi obat hepatotoksik. Jika kadarnya sudah >3 kali batas atas nilai normal maka terapi harus dihentikan.( Widijanti,2004)
Penyakit hepar tergolong sebagai salah satu penyakit yang merupakan problem nasional di Indonesia dan di negara-negara berkembang pada umumnya, bahkan merupakan permasalahan yang hangat di negara-negara maju. Berdasarkan laporan dari semua RSUP tipe A dan B di seluruh Indonesia, ternyata penyakit hepar menempati urutan ketiga setelah penyakit infeksi dan penyakit paru, bahkan penyakit hepar merupakan penyebab kematian yang tergolong tinggi. ( Hadi,1989)
Penyakit hepar bisa disebabkan oleh bermacam-macam hal, misalnya infeksi mikro organisme, gangguan metabolik, penyakit sistemik, alkoholisme, zat-zat kimia hepatotoksik dan lain-lain. Penyakit-penyakit tersebut dapat merusak jaringan hepar. Sebagian besar kerusakan hepar ini akan mengalami perkembangan menjadi sirosis yang progresif atau bahkan menjadi kanker. Untuk mencegah perkembangan kerusakan pada jaringan hepar tersebut, orang telah mencoba mengatasinya dengan berbagai jenis obat, namun hasilnya tidak memuaskan. Oleh karena kerusakan sel-sel hepar sebagian besar terjadi melalui proses oksidasi maka orang mencoba mendekati cara-cara menghambat perkembangan kerusakan jaringan dengan menggunakan bahan-bahan yang bersifat anti oksidan, di antaranya adalah senyawa flavonoid, namun mereka belum mengadakan evaluasi secara histologi.( Ali,1997)
Berdasarkan penelitian terdahulu mendapatkan bahwa daun bambu mengandung senyawa flavonoid (Pocea,1998). Di antara zat-zat kimia yang bersifat oksidan dan dapat menyebabkan kerusakan pada hepar, terdapat satu prototip yang karakteristik untuk menggambarkan kerusakan sel hepar irrevesibel. Kerusakan sel hepar pada kasus ini terjadi karena serangan radikal bebas (oksidan) pada asam lemak tak jenuh pada fosfolipid membran. Reaksi oksidasi ini bersifat otokatalitik, sehingga dalam waktu yang relatif singkat terjadi kerusakan sel hepar yang berat.( Sherlock,2000)

7.      Hewan Model dan Senyawa Penginduksi Patogenesis
Penelitian in vivo umumnya menggunakan tikus putih strain wistar jantan, berumur 6 bulan, mempunyai aktivitas normal, memiliki bobot badan (BB) berkisar antara 100-250 gram dan sehat sebagai hewan model. Pemilihan hewan model ini karena kemudahan dalam memperoleh dan merawatnya. Kelemahantikus sebagai hewan model yaitu umur hidup yang pendek sehingga tidak bisa digunakan untuk mempelajari hiperkolesterolemia jangka panjang. Hewan lainnya yang sering digunakan sebagai hewan model hiperkolesterolemia adalah satwa primata, kelinci dan mencit. Satwa primata merupakan hewan model yang bagus karena mempunyai jangka hidup yang relatif lama dan memiliki kemiripan anatomi, fisiologi dan kedekatan genetik dengan manusia sehingga peluang keberhasilan dan aplikasi penelitian pada manusia akan lebih besar (Wagner et al, 1996 dalam Giri,2008)
Pada penelitian ini sampel darah diambil secara retro orbilitas plexus vdari pembuluh darah vena. Cara pengambilan darah seperti ini relatif lebih mudah dan membutuhkan sedikit peralatan. Cara ini dapat membendung aliran kembali darah vena dari sinus orbitalis (Kusumawati,2004).
Kerusakan sel hepar karena CCl4 tersebut telah banyak di amati oleh para peneliti, sehingga dapat di pakai sebagai model kerusakan pada penelitian. Model kerusakan sel berdasarkan reaksi oksidasi ini ternyata juga mendasari proses patogenesis berbagai penyakit lain, misalnya infeksi virus, penyakit kardio vaskuler, keganasan (neoplasma), penyakit  paru, penuaan sel, kerusakan otak pasca trauma, katarak dan lain-lain.( Sherlock,2000).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar